Tanggal 27 Agustus adalah hari ketika terjadinya letusan dahsyat
Krakatau yang sempat menggoncangkan seluruh dunia. Pada tanggal 27
Agustus 1883, bertepatan dengan hari Minggu, dentuman pada pukul 10.02
terdengar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura,
Australia, Filipina, dan Jepang.
Bencana yang merupakan salah satu letusan terhebat di dunia itu sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa manusia.
Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu kawah Perbuatan memuntahkan
abu gunung api dan uap air sampai ketinggian 11 km ke udara. Letusan
ini walaupun terdengar sampai lebih dari 350 km (sampai Palembang),
tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Pada letusan tanggal 27 Agustus itu bebatuan disemburkan setinggi
55.000 m dan gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih
163 desa. Abunya mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian. Kekuatan
ledakan Krakatau ini diperkirakan 26 kali lebih besar dari ledakan bom
hydrogen terkuat dalam percobaan.
Dikira Meriam Apel
Seorang pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul
satu siang mendengar suara gemuruh yang tadinya dikira suara guntur di
tempat jauh. Lewat pukul setengah tiga siang mulai terdengar letupan
pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa kegaduhan itu berasal dari
kegiatan Krakatau, lebih-lebih sebab suara berasal dari arah barat
laut-barat. Di Batavia gemuruh itu juga dapat didengar, demikian pula di
Anyer. Di serang dan Bandung suara-suara itu mulai terdengar pukul
tiga.
Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan
pengalaman pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa
dunia akan kiamat saat itu.
“Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan
pada batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya
diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca
terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai
menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh
butiran-butiran es.”
“Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat.
Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan
letupan-letupan, sehingga orangpun tahu bahwa itu bukan badai halilintar
biasa.”
“Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat pada gunung
Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah
beristirahat selama dua abad. Mereka mengirim kawat kepada koresponden
di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa
menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba
dengan cepat: ‘Disini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan
sendiri.’ Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer…”
“Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat
kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam
berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka) dan Lapangan Singa (Banteng)
terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari
atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Waktu hari berangsur gelap, di
kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya.”
Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di
benteng (Frederik Hendrik, sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam
sebagai isyarat upacara, disusul dengan bunyi terompet yang mewajibkan
semua prajurit masuk tangsi. Para penabuh genderang dan peniup terompet
batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka
masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat
itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini
daripada biasanya.
Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet
dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup
terompet. Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang sebenarnya
menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau ternyata mengecoh
mereka!
Batavia Jadi Dingin
“Sementara itu ‘penembakan’ berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya
seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke
langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorangpun percaya bahwa
ada badai mengamuk jauh di sana. Hampir tidak ada orang yang berani
tidur malam itu. Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil
mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan
kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu.
Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: ‘Ada gunung pecah,’ kata mereka.”
“Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia
mengatakan kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik.
Penduduk asli berkumpul di masjid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk
Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola
Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya.”
“Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat
artileri itu mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan
jendela-jendela bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh dan
bertebaran di tanah, kaca etalase toko pecah, penerangan gas di banyak
rumah padam. Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, namun dari arah barat
masih terdegar suara gemuruh.”
“Kemudian saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam
beberapa jam saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sampai saya
gemetar kedinginan di pos jaga. Belum pernah di Batavia udara sedingin
itu. Waktu saya melihat keluar ternyata seluruh kota diliputi oleh kabut
tebal. Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak dapat saya lihat
lagi, meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu masih
menyala. Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa,
melainkan hujan abu, yang jatuh tak lama setelah lewat tengah malam
mula-mula jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga
segalanya terselimuti oleh kabut abu yang tebal.”
“Pada pukul enam pagi, sesuai peraturan, semua lampu harus
dipadamkan, tetapi matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh
nampaknya fajar seperti akan menyingsing, tetapi hari itu tak akan
menjadi terang. Hawa makin menjadi dingin, sehingga saya memerintahkan
anak buah saya untuk mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu
turun dengan tiada putus-putusnya. Abu itu ke mana-mana, bangsal jaga
juga dilapisi oleh serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan.
Prajurit jaga yang saya lihat dari jendela sedang mondar-mandir, nampak
seperti boneka salju kelabu yang bergerak secara mekanis.”
“Sekitar pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin
bertambah. Pada pukul sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas
dinyalakan kembali. Lapisan abu setebal 15 mm menutupi segala yang ada.
Jalan-jalan sunyi senyap, tak ada yang berani menampakkan diri. Saya
merasa seorang diri di dunia, di dunia yang tak lama lagi bakal runtuh!”
“Pada pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya
memuat sedikit keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang
mengerikan itu. Kawat itu berbunyi:
‘Kemarin petang Krakatau bekerja. Bisa didengarkan di sini. Semalam
suntuk cahayanya terlihat jelas. Sejak pukul sebelas ledakan-ledakan
makin hebat dan tak terputus-putus. Setelah hujan abu deras pagi ini
matahari tak tampak, gelapnya seperti pukul setengah tujuh malam. Merak
dimusnahkan gelombang pasang. Sekarang di sini sedang hujan kerikil
Tanpa payung kuat tak ada yang berani keluar’.”
“Lewat pukul duabelas, ketika di Batavia masih gelap gulita dan
sangat dingin, tersiar berita kawat dari pelabuhan Pasar Ikan dan
Tanjung Priok. Sebuah gelombang pasang telah membanjiri kota bagian
bawah. Permukaan air dua meter di atas garis garis normal. Kapal uap
Prinses Wilhelmina dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal
Tjiliwoeng yang cerobong asapnya merusak atap kantor pabean. Sejumlah
kapal motor dan perahu terdampar acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan,
berlumuran lumpur dan abu tebal. Pengungsi mulai mengalir sepanjang
jalan raya dengan membawa harta benda yang bisa dijinjing ke arah
Weltevreden yang lebih tinggi letaknya. Pada pukul dua dan empat sore
datang lagi gelombang pasang, tetapi kali ini kurang tinggi dibandingkan
yang pertama.”
“Di sebelah barat kini menjadi tenang dan kelam makin berkurang,
sehingga matahari mulai nampak sebagai bercak merah kotor pada langit
yang kelabu.”
“Pada pukul lima petang saya diganti dan menerima perintah untuk
segera menyiapkan suatu pasukan yang akan diberangkatkana ke daerah yang
terkena musibah di Sumatra Selatan. Pada saat itu di Batavia tidak
seorangpun tahu dengan tepat apa yang sebenarnya terjadi di sebelah
barat. Semua hubungan telegram dengan daerah yang terlanda malapetaka
terputus.”
Serang Sunyi Mencekam
Kalau di Jakarta, air pasang itu tak mengambil korban terlalu besar,
tapi di daerah pantai sebelah barat Jawa Barat yang lebih dekat dengan
gunung yang sedang murka itu, akibatnya sangat mengerikan. Di Tangerang,
pantai utaranya digenangi sampai sejauh satu hingga satu setengah km
dengan meminta korban manusia cukup besar. Sembilan buah desa pantai
musnah. Korban di daerah ini tercatat 1.794 orang penduduk asli dan 546
Cina dan Timur Asing lainnya.
Di Serang suara gemuruh mulai terdengar pada pukul 3 siang, hari
Minggu. Malamnya terus-menerus tercium bau belerang dan guruh serta
kilat terlihat dari arah Krakatau.
Hari Seninnya langit di sebelah barat berwarna kelabu, lalu hujan abu
turun tanpa hentinya. Pukul setengah sebelas hari mulai kelam, dan
makin menggelap, sehingga hampir tak terlihat apa-apa. Lewat pukul
sebelas datang kawat dari Serang bahwa telah terjadi hujan kerikil batu
apung; tak lama kemudian hubungan telegram dengan Jakarta terputus.
Setelah hujan kerikil menyusul hujan lumpur, yakni abu basah yang
melekat pada daun-daun dan dahan-dahan pohon sehingga kadang-kadang
runtuh karena beratnya. Sekitar pukul 12 hujan lumpur ini berhenti,
tetapi abu kering tetap turun. Anehnya, selama itu di Serang tak
terdengar letusan-letusan, bahkan suasana sangat sepi mencekam, yang
membuat banyak orang makin gugup dan tertekan.
Hewan peliharaan juga makin gelisah, mereka ingin sedekat mungkin
dengan manusia di dalam rumah, di dekat lampu. Dengan kekerasan
sekalipun hewan-hewan itu tak berhasil diusir. Setelah pukul dua siang
langit mulai terlihat agak terang di sebelah timur, ayam-ayam jantan
mulai berkokok. Suara gemuruh mulai terdengar lagi, sedang hujan abu
turun terus-menerus dan bau abu belerang menusuk hidung. Pada pukul
empat sore lampu-lampu masih dinyalakan.
Surat-surat kabar yang terbit di Batavia tertanggal 28, 31 Agustus,
dan 4 September penuh dengan berita-berita tentang malapetaka yang
menimpa daerah Banten. Tetapi jarang sekali ada kisah dari saksi mata,
sebab tempat-tempat yang letaknya di tepi pantai seperti Merak, Anyer,
dan Caringin, hancur luluh dan hanya ada beberapa orang Belanda yang
melarikan diri dan tertolong pada saat yang tepat.
Ketika Siuman Semua Gelap
Di Merak seorang pemegang buku pada perusahaan pelabuhan bernama E.
Pechler merupakan satu-satunya orang Belanda yang lolos. Ia sedang
bertugas membawa telegram atasannya untuk dikirimkan ke Batavia lewat
Serang. Berita ini mungkin yang terakhir dikirimkan dari Merak. Isinya
laporan kepada Kepala Jawatan Pelabuhan di Betawi, yang menyebutkan
bahwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus dan keesokan harinya, sebagian
Merak yang lebih rendah letaknya Pecinan, jalan kereta api, tergenangi;
jembatan berlabuh dan teluk tempat pengambilan batu untuk pelabuhan
rusak; jembatan dan derek-derek masih di tempat saat itu, tetapi
gerbong-gerbong sudah masuk laut. Sekitar pukul sembilan pagi Pechler
berada di kaki sebuah bukit di luar Merak. Tiba-tiba ia ditimpa hujan
lumpur dan badai. Ia melihat gelombang air mendekat, sehingga ia lari
tunggang-langgang ke atas sebuah bukit, tapi sebelum ia mencapai
puncaknya, ia sudah terkejar air pasang. Apa yang terjadi setelah itu ia
tak tahu lagi…
Keesokan harinya ia baru siuman kembali. Tempat sekitarnya sudah
kering tetapi ia tak dapat mengenali sekelilingnya karena sangat gelap.
Pada hari Selasa ia baru bisa berjalan kembali ke Merak. Di tengah jalan
ia melihat sebuah lokomotif yang rusak parah, sekitar 500 m dari tempat
berhentinya. Di Merak ia tidak menemukan apa-apa lagi. Bahkan mayat pun
tak dijumpainya, semuanya telah dihanyutkan ke laut. Di antara petugas
pemerintah di Merak hanya Pechler dan seorang insinyur bernama
Nieuwenhuis yang selamat, karena sedang berpergian ke Batavia. Waktu
insinyur itu kembali ke Merak, rumahnya yang dibangun di atas bukit
setinggi 14 m hanya tinggal lantainya saja.
Hujan Deras Batu Apung di Teluk Betung
Anyer dilanda gelombang pasang pada Senin pagi, tanggal 27, sekitar
pukul sepuluh pagi. Gelombang ini menyapu bersih pemukiman di tepi
pantai itu, sehingga yang tinggal hanyalah benteng, penjara, kediaman
Patih dan Wedana. Dataran sekitar Anyer, yang di belakang tempat itu
lebarnya kurang lebih 1 km seakan-akan dicukur gundul; di dekat pantai
bongkahan-bongkahan karang dilemparkan ke darat. Caringin yang
berpenduduk padat juga hancur luluh; letaknya di dataran yang lebarnya
sekitar 1.500 m, disusul oleh bukit-bukit 50m, tempat sejumlah kecil
penduduknya menyelamatkan diri. Bukan hanya di darat, tetapi di laut
lepas Krakatau juga meneror kapal-kapal yang kebetulan berlayar di
dekatnya. Penumpang kapal yang melayari Selat Sunda pada hari naas itu
tidak dapat melupakan pengalaman dan ketakutan mereka selama hidupnya.
Kapal api Gouverneur Generaal Loudon, dengan nakhoda Lindeman, sebuah
kapal Nederland Indische Stoomvaartsmaatschappij (pendahulu KPM)
berlayar dari Batavia ke Padang dan Aceh dengan menyinggahi Teluk
Betung, Krui, dan Bengkulu. Kapal itu berangkat pada tanggal 26 Agustus
pagi hari dari Jakarta. Seorang penumpang kapal itu mengisahkan
pengalamannya sebagai berikut:
“Cuaca pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer,
sebuah pelabuhan kecil di pantai Banten. Beberapa orang pekerja kasar
naik dari pelabuhan ini. Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah
Teluk Lampung, melewati Pulau Sangiang dan Tanjung Tua. Di sebelah kiri
kapal kami lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami singgahi dua
bulan yang lalu.”
“Waktu Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu, setelah dua
abad beristirahat, perusahaan pemilik kapal Loudon mengadakan suatu
tour pariwisata bagi penduduk Batavia. Dengan membayar dua puluh lima
gulden kita bisa berlayar ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih
mungkin untuk mendarat ke pulau, bahkan mendaki kawahnya yang
mengeluarkan uap putih.”
“Sekarang gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam
pekat membubung dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun
di geladak kapal…”
“Pada pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat
menjadi gelap, sedang lautpun agaknya makin berombak dan hujan abu makin
deras. Kapal Loudon memberi isyarat ke darat agar dikirimi sekoci bagi
penumpang yang akan mendarat, tetapi tidak ada jawaban apa-apa. Lalu
kapten memerintahkan agar sekoci kapal diturunkan, tetapi gelombang
besar tak memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga sekoci itu harus
kembali lagi.”
“Lampu pelabuhan menyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada
kejadian-kejadian luar biasa di Teluk Betung. Sekali-sekali terlihat
tanda bahaya dari kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan
bertalu-talu. Penerangan kota dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini
berubah menjadi hujan batu apung yang deras…”
Menara Suar Patah Seperti Batang Korek Api
“Dengan rasa kurang enak kami melewatkan malam itu. Air laut makin
liar dan ombak-ombak besar mendera lambung kapal tanpa hentinya. Ketika
fajar menyingsing kami melihat bahwa Teluk Betung menderita kerusakan
cukup parah oleh gelombang pasang. Kapal api pemerintah Barouw, terlepas
dari jangkarnya dan dihempaskan ke darat. Gudang-gudang dan
gedung-gedung pelabuhan lain rusak. Tetapi tak tampak tanda-anda
kehidupan di kota kecil itu…”
“Pukul tujuh pagi tiba-tiba kami melihat dinding air melaju ke arah
kapal kami. Loudon sempat melakukan manouver untuk menghindar, sehingga
gelombang itu mengenai sejajar dengan sisi kapal. Kapal itu menukik
hebat, tetapi pada saat bersamaan gelombang itu telah lewat dan Loudon
selamat. Kami sempat melihat betapa air pasang itu mendekati, lalu
melanda kota Teluk Betung dengan tenaga tak terbendung…”
“Tak lama kemudian masih ada tiga gelombang dahsyat yang menghambur,
yang di hadapan mata kami memporak-porandakan segala apa yang ada di
pantai. Kami melihat bagaimana menara suar patah seperti batang korek
api dan rumah-rumah lenyap digilas gelombang. Kapal Barouw terangkat,
kemudian dicampakkan ke darat melewati puncak-puncak pohon nyiur. Yang
tadinya Teluk Betung kini hanya air belaka…”
“Di kota itu tentunya ada ribuan orang yang meninggal serentak dan
kotanya sendiri seperti dihapuskan dari muka bumi. Semua itu terjadi
dengan cepat dan mendadak, sehingga melintas sebelum kita sempat
menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Seakan-akan dengan satu gerakan
maha kuat dekor latar belakang sebuah sandiwara telah digantikan…”
“Akhirnya Kapten Lindeman memutuskan untuk meninggalkan teluk itu,
karena ia beranggapan bahwa keadaannya cukup berbahaya. Kapal menuju ke
Anyer dengan tujuan untuk melaporkan malapetaka yang menimpa Teluk
Betung. Tak lama kemudian kapal sudah berlayar di laut lepas. Walaupun
hari masih pagi, cuaca makin menggelap, dan menjelang pukul sepuluh
sudah gelap seperti malam. Kegelapan itu bertahan selama delapan belas
jam dan selama itu turun hujan lumpur yang menutupi geladak sampai
hampir setengah meter.”
“Di ruang kemudi nakhoda melihat bahwa kompas menunjukkan
gerakan-gerakan yang paling aneh; di laut terjadi arus-arus kuat, yang
selalu berubah arahnya. Udara dicemari oleh gas belerang pekat yang
membuat orang sulit bernapas dan beberapa penumpang menderita telinga
berdesing. Barometer menunjukkan tekanan udara yang sangat tinggi.
Kemudian bertiuplah angin kuat yang berkembang menjadi badai. Kapal
diombang-ambingkan oleh getaran laut dan gelombang tinggi. Ada
saat-saatnya Loudon terancam akan terbalik oleh luapan air yang datang
dari samping. Apa saja yang tak terikat kuat dilemparkan ke laut…”
Api Santo Elmo
“Tujuh kali berturut-turut halilintar menghantam tiang utama. Dengan
rentetan letupan yang gemeretak, geledek itu kadang-kadang seperti
bergantungan di atas kapal yang diterangi cahaya mengerikan. Alat
pemadam kebakaran disiapkan di geladak, sebab nakhoda khawatir setiap
waktu Loudon bisa terbakar.”
“Kecuali halilintar, kami juga menyaksikan gejala alam aneh lain,
yakni apa yang disebut sebagai api Santo Elmo. Di atas tiang kapal
berkali-kali terlihat nyala api kecil-kecil berwarna biru. Kelasi-kelasi
pribumi mendaki tiang untuk memadamkan ‘api’ itu, tetapi sebelum mereka
sampai ke atas gejala itu telah lenyap kemudian terlihat berpindah ke
tempat lain. Api biru yang berpindah-pindah itu sungguh merupakan
pemandangan yang menyeramkan dan membangunkan bulu kuduk.”
“Antara badai dan ombak besar kami mengalami saat-saat tenang.
Tiba-tiba saja semuanya menjadi sunyi senyap dan lautpun licin seperti
kaca. Tetapi sepi yang tak wajar ini lebih mencekam daripada gegap
gempita ombak dan topan yang harus kami alami. Tak terdengar suara lain,
kecuali keluh kesah dan doa para penumpang Indonesia di geladak depan,
yang yakin bahwa ajal mereka segera akan sampai.”
“Akhirnya pada malam menjelang tanggal 28 kami melihat sekelumit
cahaya membersit dilangit! Seberkas sinar bulan pucat berhasil menembus
awan gelap. Ketika itu sekitar pukul empat pagi. Di kapal orang
bersorak-sorai gembira dengan rasa syukur dan lega.”
“Memang masih ada batu apung dan abu turun ke geladak, tetapi paling
tidak kami bisa melihat sekelilingnya dengan agak jelas. Kami masih
berlayar menyusuri pantai Sumatra. Nampaknya pantai sangat sunyi. Yang
dulunya ditumbuhi pohon-pohon kini hanya tersisa tunggul bekas batangnya
yang patah. Laut penuh dengan kayu dan batu apung, yang di pelbagai
tempat mengumpul menjadi semacam pulau besar yang menutupi jalan masuk
ke Teluk Lampung.”
“Tampang kapal Loudon benar-benar mengejutkan. Ia lebih mirip kapal
yang tenggelam sepuluh tahun di dasar laut dan baru diangkat kembali.
Kami melayari Selat Sunda dan pagi-pagi sekali Krakatau nampak kembali.
Sekarang kami baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh pulau
itu meledak sampai hancur lebur dan sebagian besar hilang. Dinding
kawahnya sama sekali runtuh, kami hanya melihat celah-celah raksasa yang
mengeluarkan asap dan uap.”
“Di laut, antara Pulau Sebesi dan Pulau Krakatau yang tadinya masih
merupakan jalur pelayaran, kini bermunculan pulau-pulau vulkanik kecil
dan berpuluh gosong arang timbul dari permukaan air. Pada delapan tempat
tampak asap dikelilingi uap putih dari laut.”
“Dengan lambat kami mendekati pantai Jawa. Pemandangan yang terlihat
hampir tak terperikan. Segalanya telah diratakan menjadi gurun tak
bertuan. Waktu kami berlabuh di Teluk Anyer, kami baru menyadari bahwa
pelabuhan kecil itu sudah tidak ada lagi. Semuanya telah tersapu bersih,
tiada rumah, tiada semak, bahkan tak ada batu yang kelihatan! Hanya
sebuah tonggak masih menandai bekas tempat berdirinya mercusuar.
Selebihnya tidak ada apa-apa lagi, kehampaan dan kesepian…”
“Yang dulunya merupakan kampung-kampung yang makmur, kini hanya
hamparan lumpur kelabu. Sungai penuh dengan puing dan lumpur. Di
mana-mana tak nampak tanda-tanda kehidupan…”
“Pulau-pulau di Selat Sunda juga tak luput dari musibah. Pulau Sebesi
yang pernah dihuni dua ribu orang, kini hanya tinggal seonggok bukit
abu, sampai puncaknya yang hampir lima ratus meter tingginya itu, dan
semua tumbuh-tumbuhan tak berbekas. Tak terlihat perahu atau desa lagi.
Demikian pula keadaan pulau-pulau lain, Pulau Sebuku dan Pulau
Sangiang.”
Hujan Lumpur
“Pada tanggal 29 Agustus kami kembali di Lautan Hindia. Makin ke
utara, makin kurang kelihatan akibat malapetaka besar itu. Kemudian di
Padang dan beberapa tempat lainnya kami bertemu dengan orang-orang yang
mendengar ledakan-ledakan dan gemuruh Krakatau. Yang aneh ialah bahwa
kami yang berada di tempat yang paling dekat dengan Krakatau, tidak
mendengar dentuman-dentuman itu.”
Itulah kisah seorang penumpang kapal yang melihat malapetaka itu dari
jarak jauh. Dari kota Teluk Betung sendiri ada saksi mata yang selamat.
Menurut dia gelombang pasang yang pertama tiba tanggal 27 Agustus pagi
sekitar pukul setengah tujuh, yang merebahkan lampu pelabuhan, gudang
batu bara, gudang di dermaga, dan melemparkan kapal Barouw dari sisi
timur bendungan melewati pemecah gelombang sampai ke Kampung Cina.
Gudang garam rusak dan Kampung Kangkung beserta beberapa kampung di
pantai lainnya dihanyutkan. Kapal pengangkut garam Marie terguling di
teluk, tetapi kemudian dapat tegak kembali. Orang juga melihat kapal
Loudon berlabuh, kemudian berlayar lagi pada pukul tujuh. Langit
berwarna kuning kemerah-merahan seperti tembaga, dari arah Krakatau
terlihat kilatan-kilatan api, hujan abu turun tiada hentinya, tetapi
sekitar pukul delapan keadaannya tenang.
Sementara orang-orang yang sempat mengungsi ke tempat yang tinggi
waktu itu masih sempat kembali ke rumah masing-masing untuk
menyelamatkan apa saja yang masih bisa diambil, atau untuk melihat
keadaan.
Kurang lebih pukul sepuluh tiba-tiba terdengar letusan hebat yang
membuat orang terpaku. Suatu pancaran cahaya dan kilat terlihat di arah
Krakatau.
Segera setelah letusan itu hari mulai remang-remang. Kerikil batu
apung mulai bertaburan. Menjelang pukul sebelas hari gelap seperti
malam, hujan abu berubah menjadi hujan lumpur. Selanjutnya apa yang
tepatnya berlangsung, tiada yang tahu, karena yang selamat berlindung di
rumah residen dan hanya mendengar deru dan gemuruh sepanjang malam yang
disebabkan oleh angin topan yang mematahkan ranting, menumbangkan
kayu-kayuan, dan melemparkan lumpur pada kaca-kaca jendela. Para
pelarian itu tidak sadar bahwa gelombang pasang sebenarnya sudah
mendekati tempat pengungsiannya sejauh 50 m di kaki bukit.
Baru keesokan harinya orang mengetahui betapa besar kehancuran yang
terjadi. Seluruh dataran diratakan dengan tanah, tiada rumah maupun
pohon yang masih tegak. Yang ada hanya abu, lumpur, puing, kapal
ringsek, dan mayat manusia maupun hewan bertebaran di mana-mana. Kapal
Barouw sudah tak terlihat lagi.
Baru kemudian kapal yang naas itu ditemukan di lembah Sungai Kuripan,
di belakang belokan lembah pada jarak 3.300 m dari tempat berlabuhnya,
dan 2.600 m dari Pecinan, tempatnya dicampakkan gelombang pertama pukul
setengah tujuh itu. Sejumlah perahu kandas di tepi lembah, sebuah rambu
laut ditemukan di lereng bukit pekuburan. Awak kapal Barouw, mualim
pertama Amt dan juru mesin Stolk hilang tak ketahuan rimbanya. Bagian
pantai Sumatra yang terjilat malapetaka Krakatau paling parah, terutama
adalah yang letaknya berhadapan dengan Selat Sunda. Misalnya
tempat-tempat di tepi Teluk Semangka.
Terjepit Dua Rumah
Seorang Belanda yang mengalami pribadi kedahsyatan letusan Krakatau
dan berhasil mempertahankan hidupnya adalah seorang controleur yang
ditempatkan di Beneawang, ibukota afdeling Semangka, yang letaknya di
Teluk Semangka, Lampung. PLC. Le Sueur, pejabat Belanda itu, melaporkan
kepada atasannya dalam sepucuk surat tertanggal 31 Agustus 1883 sebagai
berikut:
“Pada hari Minggu sore, menjelang pukul empat, sewaktu saya sedang
membaca di serambi belakang rumah saya, tiba-tiba saja terdengar
beberapa dentuman yang menyerupai letusan meriam. Saya mengira bahwa
residen yang menurut rencana akan tiba besok dengan kapal bersenjata
pemerintah telah mempercepat jadwal kunjungannya. Saya segera
mengumpulkan para kepala adat dan pejabat setempat ke pantai. Tetapi
kami tidak melihat ada kapal di laut. Saya segera kembali ke rumah.”
“Baru saja saya sampai di rumah, seorang pesuruh melaporkan bahwa air
laut mulai naik dan beberapa kampung di pantai sudah tergenang. Saya
segera berangkat lagi untuk menertibkan keadaan di antara rakyat yang
mulai panik dan memanggil-manggil nama Allah. Saya menyuruh mereka
membawa wanita dan anak-anak ke tempat-tempat yang letaknya lebih
tinggi. Kemudian air surut lagi dengan cepat, tetapi mulai hujan abu.”
“Sekitar pukul empat pagi saya dibangunkan oleh orang-orang yang
memberitakan bahwa di kaki langit terlihat cahaya kemerah-merahan. Saya
merasa khawatir…”
“Pukul enam pagi, hari Senin, saya pergi ke pantai. Permukaan air
laut jauh lebih rendah dari biasanya. Sementara batu karang yang
biasanya tak nampak, kini menjadi kering. Selanjutnya saya mendengar
guruh sambung-menyambung, sehingga saya khawatir masih ada hal-hal yang
lebih mengerikan yang akan menimpa kami…”
“Setiba di rumah saya menyuruh memanggil Van Zuylen (pembantu saya)
untuk menulis rancangan surat kepada residen tentang apa yang terjadi.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, tetapi cuaca begitu gelap
sehingga lampu-lampu masih menyala. Sejurus kemudian kata Van Zuylen:
‘Maaf tuan, untuk sementara saya berhenti menulis saja. Saya merasa
gelisah’.”
“Baru saja ia mengatakan itu, tiba-tiba kami mendengar ribut-ribut.
Laki-laki, perempuan, dan anak-anak berlarian sambil berteriak: ‘Banjir!
Banjir!’. Van Zuylen dan saya segera keluar dan menawari orang-orang
itu agar berlindung di rumah saya saja, karena rumah saya terletak di
tempat yang agak tinggi dan dibangun di atas tiang. Tetapi tak lama
kemudian air pasang kembali ke laut sehingga semuanya tenang kembali…”
“Ketenangan itu tak berlangsung lama: Sejurus kemudian air laut
kembali lagi dengan debur dan gemuruh yang menakutkan. Di rumah saya
saat itu sudah ada sekitar tiga ratus orang pengungsi. Saya
mondar-mandir di antara mereka untuk agak menenangkan mereka. Tiba-tiba
saya mendengar serambi depan runtuh dan air segera menerjang ke dalam
rumah. Saya menganjurkan mereka untuk pindah ke serambi belakang. Baru
saja saya mengatakan itu, tiba-tiba seluruh rumah roboh berantakan dan
kami semuanya terseret oleh arus air.”
“Setelah itu saya tak tahu lagi apa yang terjadi. Saya berhasil
meraih sekerat papan dan mengapung mengikuti aliran air, sampai kaki
saya tersangkut sesuatu sehingga papan itu harus saya lepaskan. Setelah
itu saya berhasil menggapai beberapa keping atap. Saya berpegangan
erat-erat sampai air kembali ke laut dan kaki saya menginjak tanah. Saya
menggunakan jas saya untuk melindungi kepala dari hujan lumpur.”
“Di kejauhan saya mendengar suara minta tolong dari laki-laki,
perempuan, dan anak-anak, tetapi saya tak berdaya menolong. Saya tak
bisa berdiri karena lemas, takut, dan terkejut, lagi pula tak terlihat
apa-apa sebab gelap. Saya mendengar air datang lagi dengan kuatnya. Saya
hanya bisa berdoa sejenak memohon penyelamatan nyawa kami semua sambil
menyiapkan diri untuk menghadapi maut. Lalu saya dihanyutkan oleh air,
diputarkan, lalu dicampakkan dengan kekuatan dahsyat. Saya terjepit di
antara dua rumah yang mengapung. Saya tak bisa bernapas lagi rasanya.
Saya mengira bahwa ajal saya sudah sampai. Tetapi tiba-tiba kedua rumah
itu terpisah lagi. Kemudian Saya mendapat batang pisang yang tak saya
lepaskan lagi…”
“Dengan batang pisang itu saya mengapung beberapa lama, berapa lama
tepatnya saya tak tahu lagi. Waktu air surut, saya terduduk saja,
barangkali sejam lamanya saya di situ tanpa bergerak. Di sekitar saya
masih gelap gulita dan hujan lumpur berlangsung terus.”
Kontrolir Berteriak Minta Tolong
“Akhirnya Saya mendengar suara-suara manusia di dekat tempat itu.
Saya memanggil, bangkit, lalu mulai berjalan tertatih-tatih dengan mata
tertutup lumpur sambil meraba-raba jalan saya. Semua pakaian saya,
kecuali baju kain flanel, telah tercabikkan dari badan saya. Saya
berjalan dalam keadaan kedinginan di bawah hujan lumpur, tetapi tidak
berhasil menemukan orang-orang yang saya dengar suaranya itu.”
“Saya menginjak semak-semak berduri dan kulit saya tercabik oleh duri
rotan, sedang saya lebih banyak jatuh bangun daripada berjalan.
Akhirnya saya mendengar ada orang berkata dalam bahasa Lampung: ‘Kita
tak jauh dari sungai besar.’ Saya mempercepat jalan saya sedapatnya,
menyapu lumpur dari mata saya lalu bergegas menuju ke arah suara tadi.
Saya bertemu seorang Jawa, seorang Palembang, dan beberapa wanita Jawa.”
“Tak lama kemudian kami melihat cahaya obor dari jauh. Tanpa berhenti
saya berteriak : ‘Tolong! Tolong! Saya kontrolir!’ Tetapi agaknya
pembawa obor itu tak mendengar suara saya. Beberapa kali kami melihat
cahaya itu, tapi kemudian menghilang di dalam kegelapan. Ketika itu
semestinya sudah pukul delapan atau sembilan pagi, tetapi masih gelap
gulita…”
“Akhirnya ada juga seorang pembawa obor yang datang mendapatkan kami.
Saya katakan kepadanya siapa saya, lalu ia mengantarkan saya melewati
hutan semak berduri dan mengarungi lumpur ke Kampung Kasugihan, kemudian
diteruskan ke Penanggungan. Hari sudah pukul delapan malam waktu kami
tiba di sana. Di kampung ini saya baru beristirahat sejam ketika kami
mendengar gemuruh air, sehingga tempat ini juga masih belum aman. Kami
melarikan diri lagi ke arah pegunungan. Setelah dua jam berjalan kami
mencapai desa Payung yang terletak di lereng Gunung Tanggamus. Di tempat
ini ada yang memberi saya sehelai sarung, sehingga saya berpakaian agak
pantas.”
“Mujur bahwa saya mendapat sambutan baik dari kepala desa maupun
rakyatnya, sehingga setiap hari saya bisa makan nasi dengan lauk ayam.
Pada hari Selasa saya menyuruh orang untuk menyelidiki siapa-siapa yang
masih hidup dari tempat-tempat di pantai. Hasilnya amat menyedihkan.
Hampir seluruh Beneawang musnah. Saya perkirakan korban jiwa di daerah
ini ada sekitar seribu orang. Banyak kampung lenyap. Di banyak desa
terjadi kelaparan.”
“Mohon dikirim beberapa potong pakaian, sebab saya tak mempunyai apa-apa lagi, juga sepatu dan selop.”
Hujan Batu Apung Membara dan Abu Panas
Menurut laporan resmi, di Beneawang sekitar 250 orang meninggal,
termasuk hampir semua pemuka adat daerah itu yang berkumpul untuk
menyambut kedatangan Residen. Termasuk Van Zulyen, Klerk Griffier
pembantu Le Sueur, satu-satunya orang Belanda yang tewas.
Kampung-kampung di sebelah barat dan timur Teluk Semangka mengalami
penghancuran total atau sebagian; di Tanjungan dan di Tanjung Beringin
yang terletak di dekatnya, 327 orang dinyatakan hilang, di Betung yang
berdekatan, 244 orang. Dari Ketimbang di pantai Teluk Lampung kita ikuti
kisah kontrolir Beyerink yang lebih mengenaskan, karena ia pribadi
kehilangan seorang anggota keluarganya dalam malapetaka itu.
“Pada Minggu sore, tanggal 26 Agustus itu distrik kami ditimpa hujan
abu dan batu apung yang membara. Rakyat melarikan diri dalam suasana
panik. Abu yang jatuh itu begitu panasnya, sehingga hampir semua orang
menderita luka bakar pada muka, tangan, dan kaki. Di antara penduduk
yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang yang mengungsi bersama saya
ke daerah yang lebih tinggi, paling sedikit ada seribu orang yang
meninggal karena luka bakar. Seorang di antara anak saya juga ikut
meninggal. Kami terpaksa memakamkannya dalam abu.”
Antar pukul sembilan dan sepuluh malam air mulai menggenangi rumah
kontrolir. Ini merupakan dorongan kuat bagi Beyerink untuk mengajak
keluarganya yang terdiri atas istrinya dan kedua anaknya yang masih
kecil memgungsi ke Kampung Umbul Balak di lereng Gunung Rajabasa.
Semalam-malaman turun hujan kerikil dan abu, hari Minggunya sampai
pukul sebelas hujan deras, paginya antara pukul sembilan dan sepuluh
jatuh kepingan-kepingan batu apung, ada yang sebesar kepala.
Ledakan-ledakan sudah terdengar terus-menerus sejak hari Minggu dan
sejak hari Senin tercium bau belerang.
Gelegar letusan terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh, disusul
segera oleh kegelapan total. Tak lama kemudian mulai turun abu panas,
yang rasanya sangat nyeri saat mengenai kulit. Ini berlangsung kira-kira
seperempat jam, mungkin lebih lama, disertai uap belerang yang
menyesakkan napas. Sesudah itu turun hujan lumpur, yang melekat pada
tubuh seperti lem, tetapi lebih mending daripada abu panas yang
mengakibatkan luka-luka bakar.
Lumpur dan abu silih berganti berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga
sampai Selasa pagi. Selama lima hari Beyerink dengan keluarganya
menderita di bawah tempat berteduh yang sederhana, dikelilingi sejumlah
besar rakyat yang ikut melarikan diri ke tempat itu. Mereka semuanya
sangat menderita, terutama oleh luka-luka bakar yang tak diobati. Anak
terkecil keluarga Beyerink akhirnya meninggal karena luka-lukanya dan
keadaan yang menyedihkan itu.
Akhirnya mereka dibebaskan oleh kapal bargas Kedirie yang pada Sabtu
pagi, tanggal 31 Agustus membuang sauh di Teluk Kalianda. Nakhoda kapal
beserta beberapa anak buahnya melakukan peninjauan ke darat. Mereka
mendengar bahwa kontrolir dan keluarganya mengungsi di Umbul Balak.
Mereka bergegas menjemputnya. Dengan bantuan tandu keluarga yang malang
itu akhirnya dapat dibawa ke pantai dan hari itu juga Kedirie bertolak
ke Jakarta.
Tersangkut Di Pohon
Kapal bargas Kedirie menyelamatkan sejumlah korban, di antaranya
seorang kakek yang berumur sekitar enam puluh tahun, bernama Kimas
Gemilang, yang kemudian dirawat di rumah sakit umum di Jakarta. Dalam
sebuah wawancara dengan harian berbahasa Belanda ia mengisahkan
pengalamannya sebagai berikut:
“Pada hari Senin pagi, sekitar pukul enam, saya menuju ke pantai, tak
jauh dari rumah saya di Ketimbang. Saya melihat permukaan air laut
sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada sehari-hari, tetapi saya tidak
melihat gelombang atau hal lain yang mencurigakan. Sekitar sepuluh
menit kemudian, saya melihat air menggulung dari kejauhan, warnanya
hitam dan tingginya menyerupai gunung. Saya hendak melarikan diri,
tetapi sudah tak keburu sebab air telah mencapai saya, sehingga saya
terseret. Mujurnya, saya tersangkut pada batang pohon besar. Saya
memanjat pohon itu sampai ke puncaknya. Tak lama sesudah itu air
menghilang sama cepatnya seperti tibanya tadi. Setelah lewat lima menit
gelombang pasang itu datang kembali. Saya tetap bertengger di pohon, tak
berani turun. Sesudah lewat sekitar satu jam air pasang tak kembali
lagi, barulah saya perlahan-lahan merosot ke bawah. Tetapi saya tak
mampu berjalan karena cedera akibat hempasan gelombang tadi. Jadi saya
duduk dan rebah di bawah pohon penyelamat itu beberapa hari dan beberapa
malam dalam keadaan antara sadar dan tidak, seperti terbius, tanpa
mengetahui apa yang terjadi di sekeliling saya. Tentu saja selama
beberapa hari itu saya tidak makan dan minum sampai suatu pagi, saya
sudah tak tahu lagi hari apa, ada seorang Cina menghampiri saya, lalu
mengangkat saya ke perahunya. Di tengah laut kami ditolong oleh sebuah
kapal api yang membawa saya kemari.”
Demikianlah kisah beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi
malapetaka Krakatau itu. Para pengamat waktu itu setelah mengumpulkan
data yang diperoleh, menyimpulkan bahwa letusan Krakatau bulan Agustus
1883 itu tidak disertai atau didahului oleh gempa kuat. Di beberapa
tempat memang terasa guncangan ringan.
Bulan dan Matahari Berwarna-Warni
Yang meminta korban jiwa maupun kerusakan paling berat adalah air
pasang yang melanda pantai-pantai yang berbatasan dengan Selat Sunda dan
utara Pulau Jawa. Hanya sebagian kecil korban diakibatkan oleh abu
panas, sedang awan panas dan gas beracun tak tercatat. Dari
laporan-laporan ternyata bahwa gelombang pasang itu terjadi tiga kali,
yang pertama pada hari Minggu pukul 18.000, pada hari Senin sekitar
pukul 06.30, dan pukul 10.30. Gelombang yang terakhir adalah yang
terbesar, yang menyebabkan kerusakan paling banyak.
Penghancuran Teluk Betung dan Caringin terutama diakibatkan oleh
gelombang yang terakhir itu. Setelah aktif selama 121 hari sejak bulan
Mei dan puncak ledakan tanggal 28 Agustus itu akhirnya semuanya menjadi
tenang kembali. Krakatau lenyap seperti ditelan bumi; hampir seluruh
belahan utara pulau itu hilang. Yang tinggal hanya bebatuan sepanjang
813 meter. Gunung berapi Danan dan Perbuatan juga gaib, dan di tempat
itu terbentuk kaldera raksasa yang berdiameter 7,4 km. Abu halus yang
dilontarkan ke angkasa ditiup ke arah barat oleh angin dan keliling
dunia dengan kecepatan 121 km tiap jamnya. Setelah enam minggu, dalam
bulan Oktober 1883 suatu sabuk debu dan abu halus menyebar sekitar bumi.
Hanya dua hari setelah letusan abu halus itu sudah meliputi benua
Afrika dan lima belas hari kemudian telah mengitari bumi, mengkibatkan
suatu kabut di seluruh daerah khatulistiwa yang menyebar sedikit demi
sedikit.
Pada tanggal 30 Nopember kabut itu mencapai Eslandia. Kabut itu
menyebabkan pelbagai dampak optik, termasuk senja kala yang
gilang-gemilang, matahari dan bulan berwarna, dan munculnya corona. Di
banyak tempat di dunia terlihat matahari atau bulan berwarna merah
jambu, hijau, biru. Enam bulan setelah letusan Krakatau, penduduk
Missouri di Amerika Serikat melihat matahari kuning dengan latar
belakang langit hijau.
Sebuah majalah populer Belanda memberi judul karangan tentang letusan Krakatau: ‘LEBIH HEBAT DARI BOM ATOM.’
Ledakan bom atom bukan apa-apa dibandingkan dengan letusan Krakatau.
Bom atom pertama yang diledakkan sebagai percobaan di dekat Los Alamos
pada tanggal 16 Juni 1945 memancarkan energi sebesar 0,019 Megaton,
sedangkan ledakan Krakatau diperkirakan sebesar 410 megaton! Kekuatan
letusan itu setara dengan 21.428 bom atom. Sedangkan korban jiwa yang
direnggutnya oleh gelombang pasang merupakan yang tertinggi yang pernah
tercatat sampai hari ini. Ini belum terhitung korban tidak langsung yang
meninggal oleh penyakit dan kelaparan yang terjadi kemudian.
By danielsns.wordpress.com
0 komentar: